BAB I
ISI
1.
DEFENISI AQIDAH
Kata Aqidah berasal dari kata ( عقد) “Al-Aqdu”yang berarti ikatan (ar-rabth),
pengesahan (al-Ibraam), penguatan (al-Ihkam), menjadi kokoh dan kuat (at-Tawatstsuq), keyakinan (al-Yaqiin). Secara istilah aqidah dapat
diartikan sebagai keyakinan hati atas sesuatu. Kata ‘aqidah’ tersebut dapat
digunakan untuk ajaran yang terdapat dalam Islam, dan dapat pula digunakan
untuk ajaran lain di luar Islam. Sehingga ada istilah aqidah Islam, aqidah
nasrani; ada aqidah yang benar atau lurus dan ada aqidah yang sesat atau
menyimpang. [1]
Aqidah secara bahasa berarti ikatan, secara
terminology berarti landasan yang mengikat yaitu keimanan, itu sebabnya ilmu
tauhid disebut juga dengan ilmu aqaid (aqidah) yang berarti ilmu mengikat.
Dalam ajaran Islam sebagaimana dicantumkan dalam Qur’an dan Sunnah aqidah
merupakan ketentuan-ketentuan dan pedoman keimanan. [2]
Jadi kesimpulannya, apa yang telah menjadi ketetapan hati
seseorang secara pasti adalah aqidah, baik itu benar ataupun salah.
|
KEDUDUKAN
AQIDAH DALAM ISLAM
Ajaran
Islam dalam bidang akidah terdiri atas seperangkat keyakinan yang benar dari
sudut keharusan doktrin, yakni adanya kesesuaian antara pemahaman atau ide dan
realitas serta landasan dan pendorong dalam mewujudkan amal saleh, yakni amal
yang membuahkan kebaikan bagi kehidupan didunia dan akhirat. [3]
Dalam
ajaran Islam, aqidah memiliki kedudukan yang sangat penting. Ibarat suatu
bangunan, aqidah adalah pondasinya, sedangkan ajaran Islam yang lain, seperti
ibadah dan akhlaq, adalah sesuatu yang dibangun di atasnya. Rumah yang dibangun
tanpa pondasi adalah suatu bangunan yang sangat rapuh. Tidak usah ada gempa
bumi atau badai, bahkan untuk sekedar menahan atau menanggung beban apa saja,
bangunan tersebut akan runtuh dan hancur berantakan. Allah swt berfirman,
فَمَنْ
كَانَ يَرْجُوا لِقَآءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحًا وَلاَيُشْرِكُ
بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا.
Artinya: “Maka barangsiapa mengharapkan perjumpaan
dengan Tuhannya (di akhirat), maka hendaklah ia beramal shalih dan tidak
menyekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (Q.S. al-Kahfi:
110) [4]
Allah
swt juga berfirman,
وَلَقَدْ
أُوحِىَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ
عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ
مِّنَ الْخَاسِرِينَ.
|
Mengingat
pentingnya kedudukan aqidah di atas, maka para Nabi dan Rasul mendahulukan
dakwah dan pengajaran Islam dari aspek aqidah, sebelum aspek yang lainnya.
Rasulullah saw berdakwah dan mengajarkan Islam pertama kali di kota Makkah
dengan menanamkan nilai-nilai aqidah atau keimanan, dalam rentang waktu yang
cukup panjang, yaitu selama kurang lebih tiga belas tahun. Dalam rentang waktu
tersebut, kaum muslimin yang merupakan minoritas di Makkah mendapatkan ujian keimanan
yang sangat berat. Ujian berat itu kemudian terbukti menjadikan keimanan mereka
sangat kuat, sehingga menjadi basis atau landasan yang kokoh bagi perjalanan
perjuangan Islam selanjutnya. Sedangkan pengajaran dan penegakan hukum-hukum
syariat dilakukan di Madinah, dalam rentang waktu yang lebih singkat, yaitu
kurang lebih selama sepuluh tahun. Hal ini menjadi pelajaran bagi kita mengenai
betapa penting dan teramat pokoknya aqidah atau keimanan dalam ajaran Islam.
SUMBER-SUMBER AQIDAH ISLAM
Aqidah
Islam adalah sesuatu yang bersifat tauqifi, artinya suatu ajaran yang
hanya dapat ditetapkan dengan adanya dalil dari Allah dan Rasul-Nya. Maka,
sumber ajaran aqidah Islam adalah terbatas pada Al-Quran dan Sunnah saja.
Karena, tidak ada yang lebih tahu tentang Allah kecuali Allah itu sendiri, dan
tidak ada yang lebih tahu tentang Allah, setelah Allah sendiri, kecuali
Rasulullah SAW.
Sumber aqidah Islam adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Artinya apa saja yang disampaikan oleh Allah dalam Al-Qur’an dan Rasulullah
dalam sunnah-nya wajib diimani, diyakini, dan diamalkan.
Akal fikiran sama sekali bukan sumber aqidah Islam,
tetapi merupakan instrumen yang berfungsi untuk memahami nash-nash yang
terdapat dalam kedua sumber tersebut dan membuktikan secara ilmiyah kebenaran
yang disampaikan oleh Al-Qur’an dan Sunnah. Itupun harus didasari oleh suatu
kesadaran penuh bahwa kemampuan akal sangat terbatas, sesuai dengan terbatasnya
kemapuan semua makhluk Allah. Akal tidak akan mampu menjangkau masa’il
ghaibiyah (masalah-masalah ghaib), bahkan akal tidak akan sanggup menjangkau
sesuatu yang tidak terikat oleh ruang dan waktu.
Misalnya, akal tidak mampu menunjukan jawaban atas
pertanyaan kekekalan itu sampai kapan? Atau akal tidak sanggup menunjukan
tempat yang tidak ada di darat atau di laut, di udara dan ditempat lainnya
dialam semesta. Karena kedua hal tersebut tidak terikat oleh ruang dan waktu.
Oleh sebab itu akal tidak boleh dipaksa memahami hal-hal
ghaib tersebut dan menjawab pertanyaan segala sesuatu tentang hal-hal ghaib
itu. Akal hanya perlu membuktikan jujurkah atau bisakah kejujuran si pembawa
risalah tentang hal-hal ghaib itu bisa dibuktikan secara ilmiyah oleh akal
fikiran.
Berkenaan dengan peneyelidikan akal untuk meyakini aqidah
Islam, terutama yang berkenaan dengan hal-hal ghaib di atas, manusia
dipersilahkan untuk mengarahkan pandangan dan penelitianya kepada alam semesta
ini, di bumi, di langit, dan rahasia-rahasia yang terseimpan pada keduanya.
TINGKATAN AQIDAH
Tingkatan
aqidah seseorang berbeda-beda antara satu dengan yang lainya tergantung dari
dalil, pemahaman, penghayatan dan juga aktualisasinya. Tingkatan aqidah ini
paling tidak ada empat, yaitu:
1.
Tingkat ‘Taqlid’
Tingkat
Taqlid berarti menerima suatu
kepercayaan dari orang lain tanpa diketahui alasan-alasanya. Sikap taklid ini
dilarang oleh agama Islam sebagaimana disebutkan dalam QS al-Isra’ (17): 36. [6]
وَلَا
تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ
كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
Artinya :“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu
tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan
dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya”.
2.
Tingkat ‘Ilmul Yaqin’
Tingkat
Ilmul Yaqin adalah suatu keyakinan
yang diperoleh berdasarkan ilmu yang bersifat teoritis. Sebagaimana yang
disebutkan dalam QS at-takatsur (102): 1-5. [7]
أَلْهَاكُمُ
التَّكَاثُرُ!حَتَّى زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ!كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُونَ!ثُمَّ
كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُونَ!كَلَّا لَوْ تَعْلَمُونَ عِلْمَ الْيَقِينِ!
Artinya : “Bermegah-megahan telah melalaikan kamu,
sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui
(akibat perbuatanmu itu), dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui.
Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin.”
3.
Tingkat
‘Ainul Yaqin’
|
Tingkat
Ainul Yaqin adalah suatu keyakinan
yang diperoleh melalui pengamatan mata kepala secara langsung tanpa perantara.
Hal ini disebutkan di dalam QS at-Takatsur (102): 6-7. [8]
لَتَرَوُنَّ
الْجَحِيمَ!ثُمَّ لَتَرَوُنَّهَا عَيْنَ الْيَقِينِ!
Artinya : “Niscaya kamu benar-benar akan melihat
neraka Jahiim, dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan `ainul
yaqin”.
4.
Tingkat Haqqul Yaqin
Tingkat
Haqqul Yaqin adalah suatu keyakinan
yang diperoleh melalui pengamatan dan penghayatan pengamalan (empiris).
Sebagaimana disebutkan di dalam QS al-Waqi’ah (56): 88-89. [9]
فَأَمَّا
إِنْ كَانَ مِنَ الْمُقَرَّبِينَ!فَرَوْحٌ وَرَيْحَانٌ وَجَنَّةُ نَعِيمٍ!وَأَمَّا
إِنْ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ الْيَمِينِ!فَسَلَامٌ لَكَ مِنْ أَصْحَابِ
الْيَمِينِ!وَأَمَّا إِنْ كَانَ مِنَ الْمُكَذِّبِينَ الضَّالِّينَ!فَنُزُلٌ مِنْ
حَمِيمٍ!وَتَصْلِيَةُ جَحِيمٍ!إِنَّ هَذَا لَهُوَ حَقُّ الْيَقِينِ!فَسَبِّحْ
بِاسْمِ رَبِّكَ الْعَظِيمِ!
Artinya : “Adapun jika dia (orang yang mati) termasuk
orang yang didekatkan (kepada Allah), maka dia memperoleh ketenteraman dan
rezki serta surga keni`matan. Dan adapun jika dia termasuk golongan kanan, maka
keselamatan bagimu karena kamu dari golongan kanan. Dan adapun jika dia
termasuk golongan orang yang mendustakan lagi sesat, maka dia mendapat hidangan
air yang mendidih, dan dibakar di dalam neraka. Sesungguhnya (yang disebutkan
ini) adalah suatu keyakinan yang benar. Maka bertasbihlah dengan (menyebut)
nama Tuhanmu Yang Maha Besar”.
FUNGSI
AQIDAH
a. Akidah Dapat Menimbulkan
Optimisme Dalam Kehidupan.
|
b. Akidah Dapat Menumbuhkan
Kedisiplinan.
Disiplin dimaksud, seperti disebut oleh beberapa Ulama,
adalah kepatuhan dan ketaatan dalam mengikuti semua ketentuan dan tata tertib
yang berlaku, termasuk hukum alam (sunnah Allah) dengan kesadaran dan tanggung
jawab. Akidah yang mantap akan mampu menempatkan diri seseorang sebagai makhluk
berdisiplin tinggi dalam kehidupanya. Disiplin adalah kata kunci untuk
keberhasilan. Karena itu bila seseorang muslim ingin berhasil, ia harus
berdisplin. Tanpa dsiplin, tidak munngkin seseorang dapat meraih kesuksesanya.
Dalam konteks peningkatan kualitas hidup displin sangat dituntut terutama.
Disiplin perilaku dan disiplin waktu.
ISTILAH
LAIN TENTANG AQIDAH
1.
Iman
Ada yang menyamakan istilah Iman dengan Aqidah, dan ada
yang membedakannya. Bagi yang membedakan, aqidah hanyalah bagian dalam (aspek
hati) dari iman, sebab iman menyangkut aspek dalam dan aspek luar. Aspek
dalamnya berupa keyakinan dan aspek luar berupa pengakuan lisan dan pembuktian
dengan amal.
Sedangkan kalau kita mengikuti definisi iman menurut
jahmiyah dan Asy’ariyah yang mengatakan bahwa iman hanyalah at-tashdiq
(membenarkan dalam hati) maka iman dan aqidah adalah dua istilah yang
bersinonim. Senada dengan ini, adalah pendapat Abu Hanifah yang mengatakan
bahwa iman hanyalah I’tiqad, sedangkan amal adalah bukti iman, tetapi tidak
dinamai iman. Sebaliknya jika kita mengikuti definisi iman menurut ulama salaf
(imam Malik, Ahmad, Syafi’I) yang mengatakan bahwa iman adalah : ” sesuatu yang diyakini di dalam hati, diucapkan dengan lisan, dan
diamalkan dengan anggota tubuh “
maka iman dan aqidah tentu tidak persis sama.
2.
Tauhid
Tauhid artinya mengesakan (mengesakan Allah-Tauhidullah).
Ajaran tauhid adalah tema sentral aqidah dan iman, oleh sebab itu aqidah dan
iman diidentikan juga dengan istilah tauhid.
3.
Ushuluddin
Ushuluddin artinya pokok-pokok agama. Aqidah, iman dan
tauhid disebut juga ushuluddin karena ajaran aqidah merupakan pokok-pokok
ajaran agama Islam.
4.
Ilmu kalam
Kalam artinya berbicara, atau pembicaraan. Dinamakan ilmu
kalam karena banyak dan luasnya dialog dan perdebatan yang terjadi antara
pemikir masalah-masalah aqidah tentang beberapa hal. Misalnya tentang al-Qur’an
apakah khaliq atau bukan, hadist atau qadim. Tentang taqdir, apakah manusia
punya hak ikhtiar atau tidak. Tentang orang berdosa besar, kafir atau tidak dan
lain sebagainya. Pembicaraan dan perdebatan luas seperti itu terjadi setelah
cara berfikir rasional dan falsafati mempengaruhi para pemikir dan ulama Islam.
5.
Teologi Islam
Teologi berasal dari dua suku kata, yaitu teo (Tuhan) dan logos (ilmu). Jadi teologi adalah ilmu menegnai Tuhan. Dalam
pengertian yang umum, teologi diartikan dengan “pengetahuan yang berkaitan
dengan seluk beluk tentang Tuhan. Para ahli agama-agama mengartikan teologi
dengan pengetahuan tentang Tuhan dan hubungan manusia dengan Tuhan serta
hubungan Tuhan dengan alam semesta, dengan demikian keyakinan terhadap Tuhan
menyangkut tentang aqidah atau kepercayaan.
Sebagai ilmu yang membicarakan ketuhanan, maka kata ini
digunakan oleh semua agama. Sementara untuk teologi Islam mengkaji seluk beluk
ketuhanan yang terdapat dalam ajaran Islam. Dengan demikian kata teologi
bersifat netral, bisa digunakan kepada agama apa saja, sesuai dengan karakter
dari agama yang menjadikan ketuhanan sebagai kajian utamanya.
6.
Ilmu Ma’rifat
Disebut sebagai ilmu ma’rifah, karena ilmu ini dapat
mengenal atau memperkenalkan ajaran-ajaran aqidah Islam, sehingga dalam
pembahasanya meliputi: Pertama, ma’rifat al-mabda’ yaitu mengenal Allah dengan
segala sifat, af’al dan asma-Nya. Kedua, ma’rifat al-wasithat yaitu mengenal
utusan-utusan Allah meliputi malaikat, rasul dan kitab-kitab Allah. Ketiga,
ma’rifat al-ma’ad yaitu mengenal dan mempercayai hari akhir dan segala sesuatu
yang terjadi di alam ini merupakan iradah dengan takdir Allah swt.
2.
DEFENISI SYARIAH
Secara bahasa syariat berasal dari kata syara’ yang berarti menjelaskan dan
menyatakan sesuatu atau dari kata Asy-Syir
dan Asy-Syari’atu yang berarti suatu
tempat yang dapat menghubungkan sesuatu untuk sampai pada sumber air yang tak
ada habis-habisnya sehingga orang membutuhkannya tidak lagi butuh alat untuk
mengambilnya. Menurut istilah, syariah berarti aturan atau undang-undang yang diturunkan
Allah untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, mengatur hubungan sesama
manusia, dan hubungan manusia dengan alam semesta. [10]
Perkataan Syariah, yang
pada mulanya berarti peraturan-peraturan agama yang diturunkan oleh tuhan,
syari’, kepada nabi-nabinya. Dalam kalangan syufi, mempunyai arti yang
tertentu, bagi mereka syariah itu ialah amal ibadah lahir dan urusan muamalat
mengenai hubungan antara manusia dengan manusia, sebagaimana yang diuraikan
dalam ilmu fiqih, dan juga bernama hukum syariah, baik mengenai pokok-pokoknya,
usul, maupun mengenai cabang-cabangnya, furu’. [11]
Syariah mengatur hidup manusia sebagai individu, yaitu hamba Allah yang harus taat, tunduk, dan patuh kepada Allah. Ketaatan, ketundukkan, dan kepatuhan kepada Allah dibuktikan dalam bentuk pelaksanaan ibadah yang tata caranya diatur sedemikian rupa oleh syariah Islam. Syariah Islam mengatur pula tata hubungan antara seseorang dengan dirinya sendiri untuk mewujudkan sosok individu yang saleh.
|
Syariah (berarti jalan besar) dalam makna generik adalah keseluruhan ajaran Islam itu sendiri. Dalam pengertian teknis-ilmiah syariah mencakup aspek hukum dari ajaran Islam, yang lebih berorientasi pada aspek lahir (esetoris). Namum demikian karena Islam merupakan ajaran yang tunggal, syariah Islam tidak bisa dilepaskan dari aqidah sebagai fondasi dan akhlaq yang menjiwai dan tujuan dari syariah itu sendiri. Syariah memberikan kepastian hukum yang penting bagi pengembangan diri manusia dan pembentukan dan pengembangan masyarakat yang berperadaban (masyarakat madani). Syariah meliputi dua bagian utama :
yaitu hubungan manusia dengan Allah (secara vertikal).
Tatacara dan syarat-rukunya terinci dalam Al-Quran dan Sunah. Misalnya :
salat, zakat, puasa
b.
Mu'amalah,
yaitu hubungan horizontal manusia dan
lingkungannya. Dalam hal ini aturannya aturannya lebih bersifat garis
besar. Misalnya munakahat, dagang, bernegara, dll.
Syariah
Islam secara mendalam dan mendetil dibahas dalam ilmu fiqih. Dalam menjalankan
syariah Islam, beberapa yang perlu menjadi pegangan : Berpegang teguh kepada
Al-Quran dan Sunah menjauhi bid'ah
(perkara yang diada-adakan). Syariah Islam telah memberi aturan yang jelas apa
yang halal dan haram, maka : Tinggalkan yang subhat (meragukan) Ikuti yang
wajib, dan jauhi yang haram, Hendaklah mementingkan persatuan dan menjauhi
perpecahan dalam syariah, Syariah harus ditegakkan dengan upaya sungguh-sungguh
(jihad) dan amar ma'ruf nahi munkar
MACAM-MACAM
HUKUM SYARI’AH
1. Pengertian
Hukum syariah adalah perintah Allah yang
berhubungan dengan mukallaf dalam bentuk tuntunan untuk memilih dan
berbuat/meningglakan perbuatan itu.
2. Jenis
hukum syariah
a.
Hukum
Taklifiy
Adalah sesuatu yang menghendaki adanya
tuntunan untuk memilih berbuat atau meningglakan perbuatan itu.
Tuntunan/pilihan itu meliputi:
Wajib : bersifat pasti
Sunnah :
dituntut tapi tidak pasti
Haram : meningglakan, bentuk pasti
Makruh : meninggalakn, tapi tidak pasti
Mubah : memilih mgerjakan atau meninggalkan
b.
Hukum Wad’i
Adalah titah Allah yang berhubungan dengan
sesuatu yang berkaitan dengan hukum taklifiy.
Dengan kata lain yang mengatur proses pelaksanaan dari hukum taklifiy. Yang
menjadi bagian dari hukum wad’i adalah:
Syarat : Berada diluar, tetapi menjadi bagian yang
menentukan, yang harus dipenuh. Sesuatu akan menjadi tidak sah tanpa adanya
syarat . Tetapi syarat bukan bagian dari perbuatan itu.
Rukun : Perbuatan sah kalau rukun itu ada dan
terpenuhi. Dan Rukun itu adalah bagian dari perbuatan itu.
Contoh: Salah
satu perbuatan yang kita namai shalat. Syarat sah shalat adalah wudlu, (bukan
bagian dari perbuatan shalat). Rukun shalat salah satunya adalah takbiratur
ikhram (bagian dari gerakan dalam perbuatan shalat).
3.
DEFINISI AKHLAK
Dalam kamus besar bahasa Indonesia kata
akhlak diartikan sebagai budi
pekerti, kelakuan. Sebenarnya kata akhlak
berasal dari bahasa Arab ‘khuluqun’ خُلُقٌ)), dan jika diartikan ke dalam
bahasa Indonesia bisa berarti perangai,
tabiat. Sedang arti akhlak secara istilah
atau terminology berarti tingkah laku seseorang yang didorong oleh suatu
keinginan secara sadar untuk melakukan suatu perbuatan yang baik, dua pakar di
bidang akhlak berpendapat:
a.
Ibnu Miskawaih (421 H/1030 M) mengatakan
bahwa
حَالً لِلنَّفْسِ دَاعِيَةٌ لهَاَ اِلَى اَفْعَالِهَا
مِنْ غَيْرِ فِكْرٍ وَرُوِيَّةٍ
Artinya : “Keadaan jiwa seseorang yang mendorongnya
untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa melalui pertimbangan pikiran (lebih
dahulu)”.
b. Imam Al-Ghazali (1015-1111 M) mengatakan
اَلْخُلُقُ عِبَارَةٌ عَنْ هَيْئَةٍ فِى النَّفْسِ
رَاسِخَةٍ عَنْهَا تَصْدُرُ اْلَافْعَالُ بِسُهُوْلَةٍ وَيُسْرٍمِنْ غَيْرِ
حَاجَةٍ اِلَى فِكْرٍ وَرُوِيَّةٍ
Artinya : “Akhlak ialah suatu sifat yang
tertanam dalam jiwa yang daripadanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah,
dengan tidak memertrlukan pertimbangan pikiran(lebih dahulu)”.
c. Prof. Dr. Ahmad Amin
memberikan definisi, bahwa yang disebut dengan
akhlak ialah kehendak yang dibiasakan. Artinya kehendak itu bila membiasakan
sesuatu, maka kebiasaan itulah yang dinamakan akhlak. Dalam penjelasan beliau,
kehendak ialah ketentuan dari beberapa keinginan sesudah bimbang, sedangkan
kebiasaan ialah perbuatan yang diulang-ulang sehingga mudah dikerjakan. Jika
apa yang bernama kehendak itu dikerjakan berulang-kali sehingga menjadi
kebiasaan, maka itulah yang kemudian berproses menjadi akhlak.
Dari pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan
bahwa akhlak adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan perilaku/perbuatan
manusia. Dalam Encyclopedia Brittanica, akhlak disebut sebagai ilmu, akhlak yang mempunyai arti sebagai studi
yang sistematik
tentang tabiat
dari pengertian nilai
baik
maupun nilai buruk.
Akhlak bersumber pada agama. Akhlak
sendiri mengandung pengertian sebagai suatu sifat
dan watak
yang merupakan bawaan seseorang. Pembentukan akhlak ke arah baik atau buruk,
ditentukan oleh faktor dari dalam diri sendiri maupun dari luar, yaitu kondisi lingkungannya.
Sebagai contoh lingkungan yang paling kecil adalah keluarga,
melalui keluargalah kepribadian
seseorang dapat terbentuk.
Macam-macam akhlak
a.
Akhlak terhadap Allah SWT
Akhlak
terhadap Allah SWT adalah pengakuan dan kesadaran bahwa tiada Tuhan melainkan
Allah. Dia memiliki sifat – sifat terpuji. Demikian agung sifat itu, yang jangankan
manusia, malaikatpun tidak akan mampu menjangkau hakikat_Nya.
b.
Akhlak terhadap manusia
Banyak
sekali rincian yang dikemukakan Al-Qur’an berkaitan dengan perlakuan terhadap
sesama manusia. Petunjuk mengenai hal ini bukan hanya dalam larangan melakukan
hal negatif seperti membunuh, menyakiti atau mengambil harta tanpa alasan yang
benar, melainkan juga sampai kepada menyakiti hati dengan jalan menceritakan
aib seseorang dibelakngnya, tidak peduli aib itu benar atau salah. Al-Qur’an
menekankan bahwa setiap orang hendaknya didudukan secara wajar. Nabi Muhammad
SAW, misalnya dinyatakan sebagai manusia seperti manusia yang lain. Namun
dinyatakan sebagai manusia seperti manusia yang lain, akan tetapi dinyatakan
pula bahwa beliau adalah rasul yang memperoleh wahyu dari Allah SWT. Atas dasar
adalah beliau berhak memperoleh penghormatan melebihi manusia lain. Sebab Allah
Maha besar. Allah berfirman:
"Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
(Al-Baqarah : 30).
c.
Akhlak terhadap lingkungan
Yang
dimaksud dengan akhlak terhadap lingkungan adalah segala sesuatu yang berada
disekitar manusia, baik binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun benda-benda tak
bernyawa. Pada dasarnya akhlak yang diajarkan oleh Al-Qur’an terhadap
lingkungan bersumber dari fungsi manusia sebagai khalifah. Kekhalifaan menuntut
adanya interaksi antara manusia dengan sesamanya, dan manusia dengan alam.
Kekhalifaan juga mengandung arti pengayoman, pemeliharaan, serta pembimbingan,
agar setiap makhluk mencapai tujuan penciptaannya.
Menurut
Soegarda Purbakawatja, ada tiga
aspek pokok yang memberi corak khusus akhlak seorang muslim menurut ajaran
Islam, yakni :
a. Adanya wahyu Allah yang
memberi ketetapan kewajiban-kewajiban pokok yang harus dilaksanakan oleh
seorang muslim, yang mencakup seluruh lapangan hidupnya, baik yang menyangkut
tugas-tugas terhadap Tuhan, maupun terhadap masyarakat. Dengan ajaran kewajiban
ini menjadikan seorang muslim siap berpartisipasi dan beramal saleh, bahkan
bersedia mengorbankan jiwanya demi terlaksananya ajaran agamanya.
b. Praktek ibadah yang harus
dilaksaanakan dengan aturan-aturan yang pasti dan teliti. Hal ini akan
mendorong tiap-tiap orang muslim untuk memperkuat rasa berkelompok dengan
sesamanya secara terorganisir.
c. Konsepsi Al-qur’an tentang
alam yang menggambarkan penciptaan manusia secara harmonis dan seimbang dibawah
perlindungan Tuhan. Ajaran ini juga akan mengukuhkan konstruksi kelompok (Soegarda Purwakawatja, 1976:9).
Waso’al Dja’far, menerangkan sifat – sifat seorang muslim adalah,
sebagai berikut :
a. Siddiq, lurus dalam perkataan,
lurus dalam perbuatan.
b. Amanah, jujur, boleh dipercaya
tentang apa saja.
c. Sabar, takan menanggung barang
atau perkara yang menyusahkan, tahan uji.
d. Ittihad, bersatu didalam
mengerjakan kebaikan dan keperrluan.
e. Ihsan, berbuat baik kepada orang
tuanya, kepada keluarganya dan kepada siapapun.
f. Ri’yatul Jiwar, menjaga kehormatan
tetangga-tetangga.
g. Wafa ‘bil ahdi, memenuhi dan menepati
kesanggupan atau perjanjian.
h. Tawasau bil haq, pesan memesan, menepati
dan memegang barang hak atau kebenaran.
i.
Ta’awun, tolong menolong atas kebaikan.
j.
Athfi ‘alad-dla’if, sayang hati kepada orang-orang yang lemah
dan papa.
k. Muwasatil faqier, menghiburkan hati orang
fakir atau miskin.
l.
Rifqi, berhati belas kalian kepada hewan sekalipun (Waso’al Dja’far,
Addien, 1951:25).
Secara garis besar, akhlak dibagi menjadi dua macam yaitu :
4.
Akhlak
yang terpuji (Al-Akhlaqul Mahmudah)
yaitu perbuatan baikterhadap Tuhan, sesama manusia dan makhluk-makhluk lainnya
yangdapat membawa nilai- nilai positif bagi kemashlahatan umat.
5.
Akhlak
yang tercela (Al-Akhlaqul Madzmumah)
yaitu perbuatan burukterhadap Tuhan, sesama manusia dan makhluk-makhluk lainnya
dan dapatmembawa suasana negatif bagi kepentingan umat manusia.
Sumber
dan Ciri-Ciri Akhlak Islami
Persoalan
“Akhlak” di dalam islam banyak
dibicarakan dan dimuat pada Al-Qur’an dan Al-Hadits. Sumber tersebut
merupakan batasan-batasan dalam tindakan sehari-hari bagi manusia. Ada yang
menjelaskan arti baik dan buruk. Memberi informasi kepada umat, apa yang semestinya
harus diperbuat dan bagaimana harus bertindak. Sehingga dengan mudah dapat
diketahui, apakah perbuatan itu terpuji atau tercela, benar atau salah.
Akhlak
Islam merupakan system akhlak yang berdasarkan kepercayaan kepada Tuhan, maka
tentunya sesuai pula dengan dasar daripada agama itu sendiri. Dengan demikian,
dasar/sumber pokok daripada akhlak islam adalah Al-Qur’an dan Al-Hadits yang
merupakan sumber utama dari agama islam itu sendiri.
Dinyatakan dalam sebuah
hadits Nabi:
عَنْ اَنَسِ بْنِ ماَلِكٍ قَالَ النَّبُّى
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : تَرَكْتُ فِيْكُمْ اَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا
ماَ تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللهِ وَسُنَّةَ وَرَسُوْلِهِ
Artinya: “Dari
Anas Bin Malik berkata: Bersabda Nabi Saw: Telah kutinggalkan atas kamu
sekalian dua perkara, yang apabila kamu berpegang kepada keduanya, maka tidak
akan tersesat, yaitu Kitab Allah dan Sunah Rasul-Nya”.
Memang
tidak disangsikan lagi dengan bahwa segala perbuatan/tidakan manusia apapun
bentuknya pada hakikatnya adalah bermaksud untuk mencapai kebahgiaan (saadah), dan hal ini adalah sebagai “natijah” dari problem akhlak. Sedangkan
saadah menurut system moral/akhlak yang agamis (islam), dapat dicapai dengan
jalan menuruti perintah Allah yakni dengan menjahui segala larangan Allah dan
mengerjakan segala perintah-Nya, sebagaimana yang tertera dalam pedoman dasar
hidup bagi setiap muslim yakni Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Dengan
demikian dapat ditegasakan disini bahwa dasar dari akhlak islam secara global
hanya ada dua yakni: Percaya adanya Tuhan dan percaya adanya hari kemudian/
pembalasan, sebagai disebutkan oleh Abul A’la Maududi bahwa system moral/akhlak
ada yang berdasarkan kepercayaan kepada Tuhan dan kehidupan setelah mati.
Akhlak
Islam bersifat mengarahkan, membimbing, mendorong, membangun peradaban manusia
dan mengobati bagi penyakit social dari jiwa dan mental. Tujuan berakhlak yang
baik untuk mendapatkan kebahagiann di dunia dan akhirat. Dua simbolis tujuan
inilah yang diidamkan manusia bukan semata berakhlak secara islami hanya
bertujuan untuk kebahagiaan dunia saja.
D.
HUBUNGAN AKIDAH, SYARIAH DAN AKHLAK
Aqidah,
Syariah dan akhlak pada dasarnya merupakan satu kesatuan dalam ajaran Islam. Ketiga unsur
tersebut dapat dibedakan tetapi
tidak dapat dipisahkan. Aqidah sebagai sistem
kepercayaan yang bermuatan elemen-elemen dasar keyakinan, menggambarkan sumber
dan hakikat keberadaan agama. Sementara syariah sebagai system nilai berisi
peraturan yang menggambarkan fungsi agama. Sedangkan akhlak sebagai sistematika
menggambarkan arah dan tujuan yang hendak dicapai agama.
BAB II
KESIMPULAN
Aqidah,
syariah dan akhlak dalam Al-Qur’an disebut amal saleh. Iman menunjukkan makna
aqidah sedangkan amal saleh menunjukkan pengertian syariah dan akhlak.
Seseorang yang melakukan perbuatan baik, tetapi tidak dilandasi aqidah,maka perbuatannya hanya dikategorikan sebagai perbuatan baik. Perbuatan baik adalah perbuatan yang sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan, tetapi belum tentu dipandang benar oleh Allah SWT. Sedangkan perbuatan baik yang didorong oleh keimanan terhadap Allah sebagai wujud pelaksanaan syariah disebut amal saleh. Karena itu didalam Al-Qur’an kata amal saleh selalu diawali dengan kata iman.
Akidah dengan syariah itu tidak dapat di
pisahkan (bisa di bedakan tetapi tidak dapat di pisahkan). Akidah sebagai
akarnya dan syariah sebagai batang dan dahan – dahannya. Seseorang yang beriman tanpa
menjalankan syariah adalah fasik. Sedangkan bersyariah tetapi berakidah yang
bertentangan dengan akidah islamiah adalah munafik. Dan seseorang yang tidak
berakidah dan bersyariah islamiah adalah kafir. [12]
|
Akidah dengan seluruh cabangnya tanpa akhlak adalah
seumpama sebatang pohon yang tidak dapat dijadikan tempat perlindung kepanasan,
untuk berteduh kehujanan dan tidak ada pula buahnya yang dapat dipetik, sebaliknya
akhlak tanpa akidah hanya merupakan bayangan-bayangan bagi benda yang tidak
tetap yang selalu bergerak. [13]
Atas dasar hubungan itu, maka seseorang yang melakukan suatu perbuatan baik, tetapi tidak dilandasi oleh aqidah atau keimanan, maka orang itu termasuk kedalam kategori kafir. Seseorang yang mengaku beraqidah atau beriman, tetapi tidak mau melaksanakan syariah, maka orang tersebut disebut fasik. Sedangkan orang yang mengaku beriman dan melaksanakan syariah tetapi dengan landasan aqidah yang tidak lurus disebut munafik.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
Ensiklopedi Hukum Islam. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1996
Zuhdi, Masjfuk. Studi Islam, Rajawali Pers, Jakarta, 1988
Syaltut, Mahmud. Islam Aqidah dan Syari’ah, Pustaka Amani, Jakarta, 1986
Daradjat, Zakiah. Dkk. Dasar-Dasar Agama Islam, Bulan Bintang,
Jakarta, 1984.
Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta,
2002.
Atjeh, Aboebakar. Sejarah Syufi dan Tasawwuf, Ramadhani,
Solo, 1962.
Mahmud Syaltut, Syekh. Akidah dan Syari’ah Islam, Bina Aksara,
Jakarta, 1985
Muslimcianjur.blogspot.com
Blogufik.blogspot.com
syariah.web.id
id.shvoong.com
www.artikata.com
bagaimana keterkaitan antara aqidah,syariah,dan akhlak
BalasHapusitu sudah dijelaskan dalam kesimpulan
Hapussyukron katsir,,, matur nuwun sangat membantu :-)
BalasHapusayat al-quran yang menunjukkan bahwa aqidah,syariah dan akhlaq itu sangat berhubungan??
BalasHapusapa ruang lingkup nya dalam aqidah , syariah, dan ahlak?
BalasHapus