Minggu, 24 Februari 2013

Hubungan Aqidah, Syariah & Akhlak


BAB I
ISI


1.      DEFENISI AQIDAH

Kata Aqidah berasal dari kata (  عقد)  “Al-Aqdu”yang berarti ikatan (ar-rabth), pengesahan (al-Ibraam), penguatan (al-Ihkam), menjadi kokoh dan kuat (at-Tawatstsuq), keyakinan (al-Yaqiin). Secara istilah aqidah dapat diartikan sebagai keyakinan hati atas sesuatu. Kata ‘aqidah’ tersebut dapat digunakan untuk ajaran yang terdapat dalam Islam, dan dapat pula digunakan untuk ajaran lain di luar Islam. Sehingga ada istilah aqidah Islam, aqidah nasrani; ada aqidah yang benar atau lurus dan ada aqidah yang sesat atau menyimpang. [1]

Aqidah secara bahasa berarti ikatan, secara terminology berarti landasan yang mengikat yaitu keimanan, itu sebabnya ilmu tauhid disebut juga dengan ilmu aqaid (aqidah) yang berarti ilmu mengikat. Dalam ajaran Islam sebagaimana dicantumkan dalam Qur’an dan Sunnah aqidah merupakan ketentuan-ketentuan dan pedoman keimanan.  [2]

Jadi kesimpulannya, apa yang telah menjadi ketetapan hati seseorang secara pasti adalah aqidah, baik itu benar ataupun salah.


[1] Ensiklopedi Hukum Islam Hal 78.
[2] Prof. Dr. Zakiah Daradjat dkk, Dasar-Dasar Agama Islam 140.
 
Dalam ajaran Islam, aqidah Islam (al-aqidah al-Islamiyah) merupakan keyakinan atas sesuatu yang terdapat dalam rukun iman, yaitu keyakinan kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, serta taqdir baik dan buruk. Hal ini didasarkan kepada Hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Shahabat Umar bin Khathab r.a. yang dikenal dengan ‘Hadits Jibril’.

KEDUDUKAN AQIDAH DALAM ISLAM

Ajaran Islam dalam bidang akidah terdiri atas seperangkat keyakinan yang benar dari sudut keharusan doktrin, yakni adanya kesesuaian antara pemahaman atau ide dan realitas serta landasan dan pendorong dalam mewujudkan amal saleh, yakni amal yang membuahkan kebaikan bagi kehidupan didunia dan akhirat. [3]

Dalam ajaran Islam, aqidah memiliki kedudukan yang sangat penting. Ibarat suatu bangunan, aqidah adalah pondasinya, sedangkan ajaran Islam yang lain, seperti ibadah dan akhlaq, adalah sesuatu yang dibangun di atasnya. Rumah yang dibangun tanpa pondasi adalah suatu bangunan yang sangat rapuh. Tidak usah ada gempa bumi atau badai, bahkan untuk sekedar menahan atau menanggung beban apa saja, bangunan tersebut akan runtuh dan hancur berantakan. Allah swt berfirman,

فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَآءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحًا وَلاَيُشْرِكُ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا.

Artinya: “Maka barangsiapa mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya (di akhirat), maka hendaklah ia beramal shalih dan tidak menyekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (Q.S. al-Kahfi: 110) [4]

Allah swt juga berfirman,

وَلَقَدْ أُوحِىَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ
 مِّنَ الْخَاسِرِينَ.


[3] Ensiklopedi Tematis Dunia Hal 9
[4] Q.S. al-Kahfi: 110
 
Artinya: “Dan sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada nabi-nabi sebelummu, bahwa jika engkau betul-betul melakukan kesyirikan, maka sungguh amalmu akan hancur, dan kamu benar-benar akan termasuk orang-orang yang merugi.” (Q.S. az-Zumar: 65) [5]

Mengingat pentingnya kedudukan aqidah di atas, maka para Nabi dan Rasul mendahulukan dakwah dan pengajaran Islam dari aspek aqidah, sebelum aspek yang lainnya. Rasulullah saw berdakwah dan mengajarkan Islam pertama kali di kota Makkah dengan menanamkan nilai-nilai aqidah atau keimanan, dalam rentang waktu yang cukup panjang, yaitu selama kurang lebih tiga belas tahun. Dalam rentang waktu tersebut, kaum muslimin yang merupakan minoritas di Makkah mendapatkan ujian keimanan yang sangat berat. Ujian berat itu kemudian terbukti menjadikan keimanan mereka sangat kuat, sehingga menjadi basis atau landasan yang kokoh bagi perjalanan perjuangan Islam selanjutnya. Sedangkan pengajaran dan penegakan hukum-hukum syariat dilakukan di Madinah, dalam rentang waktu yang lebih singkat, yaitu kurang lebih selama sepuluh tahun. Hal ini menjadi pelajaran bagi kita mengenai betapa penting dan teramat pokoknya aqidah atau keimanan dalam ajaran Islam.

SUMBER-SUMBER AQIDAH ISLAM

Aqidah Islam adalah sesuatu yang bersifat tauqifi, artinya suatu ajaran yang hanya dapat ditetapkan dengan adanya dalil dari Allah dan Rasul-Nya. Maka, sumber ajaran aqidah Islam adalah terbatas pada Al-Quran dan Sunnah saja. Karena, tidak ada yang lebih tahu tentang Allah kecuali Allah itu sendiri, dan tidak ada yang lebih tahu tentang Allah, setelah Allah sendiri, kecuali Rasulullah SAW.
 

Sumber aqidah Islam adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Artinya apa saja yang disampaikan oleh Allah dalam Al-Qur’an dan Rasulullah dalam sunnah-nya wajib diimani, diyakini, dan diamalkan.

Akal fikiran sama sekali bukan sumber aqidah Islam, tetapi merupakan instrumen yang berfungsi untuk memahami nash-nash yang terdapat dalam kedua sumber tersebut dan membuktikan secara ilmiyah kebenaran yang disampaikan oleh Al-Qur’an dan Sunnah. Itupun harus didasari oleh suatu kesadaran penuh bahwa kemampuan akal sangat terbatas, sesuai dengan terbatasnya kemapuan semua makhluk Allah. Akal tidak akan mampu menjangkau masa’il ghaibiyah (masalah-masalah ghaib), bahkan akal tidak akan sanggup menjangkau sesuatu yang tidak terikat oleh ruang dan waktu.

Misalnya, akal tidak mampu menunjukan jawaban atas pertanyaan kekekalan itu sampai kapan? Atau akal tidak sanggup menunjukan tempat yang tidak ada di darat atau di laut, di udara dan ditempat lainnya dialam semesta. Karena kedua hal tersebut tidak terikat oleh ruang dan waktu.

Oleh sebab itu akal tidak boleh dipaksa memahami hal-hal ghaib tersebut dan menjawab pertanyaan segala sesuatu tentang hal-hal ghaib itu. Akal hanya perlu membuktikan jujurkah atau bisakah kejujuran si pembawa risalah tentang hal-hal ghaib itu bisa dibuktikan secara ilmiyah oleh akal fikiran.

Berkenaan dengan peneyelidikan akal untuk meyakini aqidah Islam, terutama yang berkenaan dengan hal-hal ghaib di atas, manusia dipersilahkan untuk mengarahkan pandangan dan penelitianya kepada alam semesta ini, di bumi, di langit, dan rahasia-rahasia yang terseimpan pada keduanya.

TINGKATAN AQIDAH

Tingkatan aqidah seseorang berbeda-beda antara satu dengan yang lainya tergantung dari dalil, pemahaman, penghayatan dan juga aktualisasinya. Tingkatan aqidah ini paling tidak ada empat, yaitu:

1.      Tingkat ‘Taqlid’

Tingkat Taqlid berarti menerima suatu kepercayaan dari orang lain tanpa diketahui alasan-alasanya. Sikap taklid ini dilarang oleh agama Islam sebagaimana disebutkan dalam QS al-Isra’ (17): 36. [6]

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
Artinya :“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya”.

2.      Tingkat ‘Ilmul Yaqin’

Tingkat Ilmul Yaqin adalah suatu keyakinan yang diperoleh berdasarkan ilmu yang bersifat teoritis. Sebagaimana yang disebutkan dalam QS at-takatsur (102): 1-5. [7]

أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ!حَتَّى زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ!كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُونَ!ثُمَّ كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُونَ!كَلَّا لَوْ تَعْلَمُونَ عِلْمَ الْيَقِينِ!

Artinya : “Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu), dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui. Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin.”

3.     

[6] Q. S al-Isra’ 17
[7] QS at-takatsur 102 : 1-5

 
Tingkat ‘Ainul Yaqin’

Tingkat Ainul Yaqin adalah suatu keyakinan yang diperoleh melalui pengamatan mata kepala secara langsung tanpa perantara. Hal ini disebutkan di dalam QS at-Takatsur (102): 6-7. [8]

لَتَرَوُنَّ الْجَحِيمَ!ثُمَّ لَتَرَوُنَّهَا عَيْنَ الْيَقِينِ!

Artinya : “Niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim, dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan `ainul yaqin”.

4.      Tingkat Haqqul Yaqin

Tingkat Haqqul Yaqin adalah suatu keyakinan yang diperoleh melalui pengamatan dan penghayatan pengamalan (empiris). Sebagaimana disebutkan di dalam QS al-Waqi’ah (56): 88-89. [9]

فَأَمَّا إِنْ كَانَ مِنَ الْمُقَرَّبِينَ!فَرَوْحٌ وَرَيْحَانٌ وَجَنَّةُ نَعِيمٍ!وَأَمَّا إِنْ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ الْيَمِينِ!فَسَلَامٌ لَكَ مِنْ أَصْحَابِ الْيَمِينِ!وَأَمَّا إِنْ كَانَ مِنَ الْمُكَذِّبِينَ الضَّالِّينَ!فَنُزُلٌ مِنْ حَمِيمٍ!وَتَصْلِيَةُ جَحِيمٍ!إِنَّ هَذَا لَهُوَ حَقُّ الْيَقِينِ!فَسَبِّحْ بِاسْمِ رَبِّكَ الْعَظِيمِ!

Artinya : “Adapun jika dia (orang yang mati) termasuk orang yang didekatkan (kepada Allah), maka dia memperoleh ketenteraman dan rezki serta surga keni`matan. Dan adapun jika dia termasuk golongan kanan, maka keselamatan bagimu karena kamu dari golongan kanan. Dan adapun jika dia termasuk golongan orang yang mendustakan lagi sesat, maka dia mendapat hidangan air yang mendidih, dan dibakar di dalam neraka. Sesungguhnya (yang disebutkan ini) adalah suatu keyakinan yang benar. Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Maha Besar”.

FUNGSI AQIDAH

a.      Akidah Dapat Menimbulkan Optimisme Dalam Kehidupan.

[6] QS at-Takatsur (102): 6-7
[7] QS al-Waqi’ah (56): 88-89

 
Sebab manusia yang di dalam dirinya tertanam akidah atau keyakinan yang kuat, akan selalu merasa optimis dan merasa akan berhasil dalam segala usahanya. Keyakinan ini didorong oleh keyakinan yang lain bahwa Allah sangat dekat padanya, bahkan selalu menyertainya dalam usaha dan aktivitas-aktivitasnya.

b.      Akidah Dapat Menumbuhkan Kedisiplinan.
Disiplin dimaksud, seperti disebut oleh beberapa Ulama, adalah kepatuhan dan ketaatan dalam mengikuti semua ketentuan dan tata tertib yang berlaku, termasuk hukum alam (sunnah Allah) dengan kesadaran dan tanggung jawab. Akidah yang mantap akan mampu menempatkan diri seseorang sebagai makhluk berdisiplin tinggi dalam kehidupanya. Disiplin adalah kata kunci untuk keberhasilan. Karena itu bila seseorang muslim ingin berhasil, ia harus berdisplin. Tanpa dsiplin, tidak munngkin seseorang dapat meraih kesuksesanya. Dalam konteks peningkatan kualitas hidup displin sangat dituntut terutama. Disiplin perilaku dan disiplin waktu.

ISTILAH LAIN TENTANG AQIDAH

1.      Iman
Ada yang menyamakan istilah Iman dengan Aqidah, dan ada yang membedakannya. Bagi yang membedakan, aqidah hanyalah bagian dalam (aspek hati) dari iman, sebab iman menyangkut aspek dalam dan aspek luar. Aspek dalamnya berupa keyakinan dan aspek luar berupa pengakuan lisan dan pembuktian dengan amal.

Sedangkan kalau kita mengikuti definisi iman menurut jahmiyah dan Asy’ariyah yang mengatakan bahwa iman hanyalah at-tashdiq (membenarkan dalam hati) maka iman dan aqidah adalah dua istilah yang bersinonim. Senada dengan ini, adalah pendapat Abu Hanifah yang mengatakan bahwa iman hanyalah I’tiqad, sedangkan amal adalah bukti iman, tetapi tidak dinamai iman. Sebaliknya jika kita mengikuti definisi iman menurut ulama salaf (imam Malik, Ahmad, Syafi’I) yang mengatakan bahwa iman adalah : ” sesuatu yang diyakini di dalam hati, diucapkan dengan lisan, dan diamalkan dengan anggota tubuh maka iman dan aqidah tentu tidak persis sama.

2.      Tauhid
Tauhid artinya mengesakan (mengesakan Allah-Tauhidullah). Ajaran tauhid adalah tema sentral aqidah dan iman, oleh sebab itu aqidah dan iman diidentikan juga dengan istilah tauhid.

3.      Ushuluddin
Ushuluddin artinya pokok-pokok agama. Aqidah, iman dan tauhid disebut juga ushuluddin karena ajaran aqidah merupakan pokok-pokok ajaran agama Islam.

4.      Ilmu kalam
Kalam artinya berbicara, atau pembicaraan. Dinamakan ilmu kalam karena banyak dan luasnya dialog dan perdebatan yang terjadi antara pemikir masalah-masalah aqidah tentang beberapa hal. Misalnya tentang al-Qur’an apakah khaliq atau bukan, hadist atau qadim. Tentang taqdir, apakah manusia punya hak ikhtiar atau tidak. Tentang orang berdosa besar, kafir atau tidak dan lain sebagainya. Pembicaraan dan perdebatan luas seperti itu terjadi setelah cara berfikir rasional dan falsafati mempengaruhi para pemikir dan ulama Islam.

5.      Teologi Islam
Teologi berasal dari dua suku kata, yaitu teo (Tuhan) dan logos (ilmu). Jadi teologi adalah ilmu menegnai Tuhan. Dalam pengertian yang umum, teologi diartikan dengan “pengetahuan yang berkaitan dengan seluk beluk tentang Tuhan. Para ahli agama-agama mengartikan teologi dengan pengetahuan tentang Tuhan dan hubungan manusia dengan Tuhan serta hubungan Tuhan dengan alam semesta, dengan demikian keyakinan terhadap Tuhan menyangkut tentang aqidah atau kepercayaan.

Sebagai ilmu yang membicarakan ketuhanan, maka kata ini digunakan oleh semua agama. Sementara untuk teologi Islam mengkaji seluk beluk ketuhanan yang terdapat dalam ajaran Islam. Dengan demikian kata teologi bersifat netral, bisa digunakan kepada agama apa saja, sesuai dengan karakter dari agama yang menjadikan ketuhanan sebagai kajian utamanya.

6.      Ilmu Ma’rifat
Disebut sebagai ilmu ma’rifah, karena ilmu ini dapat mengenal atau memperkenalkan ajaran-ajaran aqidah Islam, sehingga dalam pembahasanya meliputi: Pertama, ma’rifat al-mabda’ yaitu mengenal Allah dengan segala sifat, af’al dan asma-Nya. Kedua, ma’rifat al-wasithat yaitu mengenal utusan-utusan Allah meliputi malaikat, rasul dan kitab-kitab Allah. Ketiga, ma’rifat al-ma’ad yaitu mengenal dan mempercayai hari akhir dan segala sesuatu yang terjadi di alam ini merupakan iradah dengan takdir Allah swt.

2.      DEFENISI SYARIAH

Secara bahasa syariat berasal dari kata syara’ yang berarti menjelaskan dan menyatakan sesuatu atau dari kata Asy-Syir dan Asy-Syari’atu yang berarti suatu tempat yang dapat menghubungkan sesuatu untuk sampai pada sumber air yang tak ada habis-habisnya sehingga orang membutuhkannya tidak lagi butuh alat untuk mengambilnya. Menurut istilah, syariah berarti aturan atau undang-undang yang diturunkan Allah untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, mengatur hubungan sesama manusia, dan hubungan manusia dengan alam semesta. [10]

Perkataan Syariah, yang pada mulanya berarti peraturan-peraturan agama yang diturunkan oleh tuhan, syari’, kepada nabi-nabinya. Dalam kalangan syufi, mempunyai arti yang tertentu, bagi mereka syariah itu ialah amal ibadah lahir dan urusan muamalat mengenai hubungan antara manusia dengan manusia, sebagaimana yang diuraikan dalam ilmu fiqih, dan juga bernama hukum syariah, baik mengenai pokok-pokoknya, usul, maupun mengenai cabang-cabangnya, furu’. [11]

Syariah mengatur hidup manusia sebagai individu, yaitu hamba Allah yang harus taat, tunduk, dan patuh kepada Allah. Ketaatan, ketundukkan, dan kepatuhan kepada Allah dibuktikan dalam bentuk pelaksanaan ibadah yang tata caranya diatur sedemikian rupa oleh syariah Islam. Syariah Islam mengatur pula tata hubungan antara seseorang dengan dirinya sendiri untuk mewujudkan sosok individu yang saleh.

[10] Prof. Dr. Mahmud Syaltut Islam Aqidah dan Syariah Hal 5
[11] Prof Dr. H. Aboebakar Atjeh Sejarah Sufi dan Tasawwuf Hal 61-62
 

Syariah (berarti jalan besar) dalam makna generik adalah keseluruhan ajaran Islam itu sendiri. Dalam pengertian teknis-ilmiah syariah mencakup aspek hukum dari ajaran Islam, yang lebih berorientasi pada aspek lahir (esetoris). Namum demikian karena Islam merupakan ajaran yang tunggal, syariah Islam tidak bisa dilepaskan dari aqidah sebagai fondasi dan akhlaq yang menjiwai dan tujuan dari syariah itu sendiri. Syariah memberikan kepastian hukum yang penting bagi  pengembangan diri manusia dan pembentukan dan pengembangan masyarakat yang berperadaban (masyarakat madani). Syariah meliputi dua bagian utama :

a.      Ibadah,
yaitu hubungan manusia dengan Allah (secara vertikal). Tatacara dan syarat-rukunya terinci dalam Al-Quran dan Sunah.  Misalnya : salat, zakat, puasa
b.      Mu'amalah,
yaitu hubungan horizontal manusia dan lingkungannya.  Dalam hal ini aturannya aturannya lebih bersifat garis besar. Misalnya munakahat, dagang, bernegara, dll.

Syariah Islam secara mendalam dan mendetil dibahas dalam ilmu fiqih. Dalam menjalankan syariah Islam, beberapa yang perlu menjadi pegangan : Berpegang teguh kepada Al-Quran dan Sunah  menjauhi bid'ah (perkara yang diada-adakan). Syariah Islam telah memberi aturan yang jelas apa yang halal dan haram, maka : Tinggalkan yang subhat (meragukan) Ikuti yang wajib, dan jauhi yang haram, Hendaklah mementingkan persatuan dan menjauhi perpecahan dalam syariah, Syariah harus ditegakkan dengan upaya sungguh-sungguh (jihad) dan amar ma'ruf nahi munkar

MACAM-MACAM HUKUM SYARI’AH
1.      Pengertian
Hukum syariah adalah perintah Allah yang berhubungan dengan mukallaf dalam bentuk tuntunan untuk memilih dan berbuat/meningglakan perbuatan itu.


2.      Jenis hukum syariah
a.      Hukum Taklifiy
Adalah sesuatu yang menghendaki adanya tuntunan untuk memilih berbuat atau meningglakan perbuatan itu. Tuntunan/pilihan itu meliputi:
Wajib         : bersifat pasti
Sunnah      : dituntut tapi tidak pasti
Haram      : meningglakan, bentuk pasti
Makruh      : meninggalakn, tapi tidak pasti
Mubah       : memilih mgerjakan atau meninggalkan

b.       Hukum Wad’i
Adalah titah Allah yang berhubungan dengan sesuatu yang berkaitan dengan hukum taklifiy. Dengan kata lain yang mengatur proses pelaksanaan dari hukum taklifiy. Yang menjadi bagian dari hukum wad’i adalah:
Sebab          : Sesuatu yang melatarbelakangi peruatan/pertandanya
Syarat         :  Berada diluar, tetapi menjadi bagian yang menentukan, yang harus dipenuh. Sesuatu akan menjadi tidak sah tanpa adanya syarat . Tetapi syarat bukan bagian dari perbuatan  itu.
Rukun         : Perbuatan sah kalau rukun itu ada dan terpenuhi. Dan Rukun itu adalah bagian dari perbuatan itu.
Contoh: Salah satu perbuatan yang kita namai shalat. Syarat sah shalat adalah wudlu, (bukan bagian dari perbuatan shalat). Rukun shalat salah satunya adalah takbiratur ikhram (bagian dari gerakan dalam perbuatan shalat).

3.      DEFINISI AKHLAK
Dalam kamus besar bahasa Indonesia kata akhlak diartikan sebagai budi pekerti, kelakuan. Sebenarnya kata akhlak berasal dari bahasa Arab ‘khuluqun’  خُلُقٌ)), dan jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia bisa berarti perangai, tabiat. Sedang arti akhlak secara istilah atau terminology berarti tingkah laku seseorang yang didorong oleh suatu keinginan secara sadar untuk melakukan suatu perbuatan yang baik, dua pakar di bidang akhlak berpendapat:
a.        Ibnu Miskawaih (421 H/1030 M) mengatakan bahwa
حَالً لِلنَّفْسِ دَاعِيَةٌ لهَاَ اِلَى اَفْعَالِهَا مِنْ غَيْرِ فِكْرٍ وَرُوِيَّةٍ

Artinya : “Keadaan jiwa seseorang yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa melalui pertimbangan pikiran (lebih dahulu)”.

b.      Imam Al-Ghazali (1015-1111 M) mengatakan
اَلْخُلُقُ عِبَارَةٌ عَنْ هَيْئَةٍ فِى النَّفْسِ رَاسِخَةٍ عَنْهَا تَصْدُرُ اْلَافْعَالُ بِسُهُوْلَةٍ وَيُسْرٍمِنْ غَيْرِ
حَاجَةٍ اِلَى فِكْرٍ وَرُوِيَّةٍ

Artinya : “Akhlak ialah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang daripadanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah, dengan tidak memertrlukan pertimbangan pikiran(lebih dahulu)”.

c.       Prof. Dr. Ahmad Amin memberikan definisi, bahwa yang disebut dengan akhlak ialah kehendak yang dibiasakan. Artinya kehendak itu bila membiasakan sesuatu, maka kebiasaan itulah yang dinamakan akhlak. Dalam penjelasan beliau, kehendak ialah ketentuan dari beberapa keinginan sesudah bimbang, sedangkan kebiasaan ialah perbuatan yang diulang-ulang sehingga mudah dikerjakan. Jika apa yang bernama kehendak itu dikerjakan berulang-kali sehingga menjadi kebiasaan, maka itulah yang kemudian berproses menjadi akhlak.

Dari pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa akhlak adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan perilaku/perbuatan manusia. Dalam Encyclopedia Brittanica, akhlak disebut sebagai ilmu, akhlak yang mempunyai arti sebagai studi yang sistematik tentang tabiat dari pengertian nilai baik maupun nilai buruk.

Akhlak bersumber pada agama. Akhlak sendiri mengandung pengertian sebagai suatu sifat dan watak yang merupakan bawaan seseorang. Pembentukan akhlak ke arah baik atau buruk, ditentukan oleh faktor dari dalam diri sendiri maupun dari luar, yaitu kondisi lingkungannya. Sebagai contoh lingkungan yang paling kecil adalah keluarga, melalui keluargalah kepribadian seseorang dapat terbentuk.

Macam-macam akhlak

a.    Akhlak terhadap Allah SWT
Akhlak terhadap Allah SWT adalah pengakuan dan kesadaran bahwa tiada Tuhan melainkan Allah. Dia memiliki sifat – sifat terpuji. Demikian agung sifat itu, yang jangankan manusia, malaikatpun tidak akan mampu menjangkau hakikat_Nya.

b.    Akhlak terhadap manusia
Banyak sekali rincian yang dikemukakan Al-Qur’an berkaitan dengan perlakuan terhadap sesama manusia. Petunjuk mengenai hal ini bukan hanya dalam larangan melakukan hal negatif seperti membunuh, menyakiti atau mengambil harta tanpa alasan yang benar, melainkan juga sampai kepada menyakiti hati dengan jalan menceritakan aib seseorang dibelakngnya, tidak peduli aib itu benar atau salah. Al-Qur’an menekankan bahwa setiap orang hendaknya didudukan secara wajar. Nabi Muhammad SAW, misalnya dinyatakan sebagai manusia seperti manusia yang lain. Namun dinyatakan sebagai manusia seperti manusia yang lain, akan tetapi dinyatakan pula bahwa beliau adalah rasul yang memperoleh wahyu dari Allah SWT. Atas dasar adalah beliau berhak memperoleh penghormatan melebihi manusia lain. Sebab Allah Maha besar. Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (Al-Baqarah : 30).
c.    Akhlak terhadap lingkungan
Yang dimaksud dengan akhlak terhadap lingkungan adalah segala sesuatu yang berada disekitar manusia, baik binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun benda-benda tak bernyawa. Pada dasarnya akhlak yang diajarkan oleh Al-Qur’an terhadap lingkungan bersumber dari fungsi manusia sebagai khalifah. Kekhalifaan menuntut adanya interaksi antara manusia dengan sesamanya, dan manusia dengan alam. Kekhalifaan juga mengandung arti pengayoman, pemeliharaan, serta pembimbingan, agar setiap makhluk mencapai tujuan penciptaannya.

Menurut Soegarda Purbakawatja, ada tiga aspek pokok yang memberi corak khusus akhlak seorang muslim menurut ajaran Islam, yakni :
a.       Adanya wahyu Allah yang memberi ketetapan kewajiban-kewajiban pokok yang harus dilaksanakan oleh seorang muslim, yang mencakup seluruh lapangan hidupnya, baik yang menyangkut tugas-tugas terhadap Tuhan, maupun terhadap masyarakat. Dengan ajaran kewajiban ini menjadikan seorang muslim siap berpartisipasi dan beramal saleh, bahkan bersedia mengorbankan jiwanya demi terlaksananya ajaran agamanya.
b.      Praktek ibadah yang harus dilaksaanakan dengan aturan-aturan yang pasti dan teliti. Hal ini akan mendorong tiap-tiap orang muslim untuk memperkuat rasa berkelompok dengan sesamanya secara terorganisir.
c.       Konsepsi Al-qur’an tentang alam yang menggambarkan penciptaan manusia secara harmonis dan seimbang dibawah perlindungan Tuhan. Ajaran ini juga akan mengukuhkan konstruksi kelompok (Soegarda Purwakawatja, 1976:9).

Waso’al Dja’far, menerangkan sifat – sifat seorang muslim adalah, sebagai berikut :
a.       Siddiq, lurus dalam perkataan, lurus dalam perbuatan.
b.      Amanah, jujur, boleh dipercaya tentang apa saja.
c.       Sabar, takan menanggung barang atau perkara yang menyusahkan, tahan uji.
d.      Ittihad, bersatu didalam mengerjakan kebaikan dan keperrluan.
e.       Ihsan, berbuat baik kepada orang tuanya, kepada keluarganya dan kepada siapapun.
f.       Ri’yatul Jiwar, menjaga kehormatan tetangga-tetangga.
g.      Wafa ‘bil ahdi, memenuhi dan menepati kesanggupan atau perjanjian.
h.      Tawasau bil haq, pesan memesan, menepati dan memegang barang hak atau kebenaran.
i.        Ta’awun, tolong menolong atas kebaikan.
j.        Athfi ‘alad-dla’if, sayang hati kepada orang-orang yang lemah dan papa.
k.      Muwasatil faqier, menghiburkan hati orang fakir atau miskin.
l.        Rifqi, berhati belas kalian kepada hewan sekalipun (Waso’al Dja’far, Addien, 1951:25).

Secara garis besar, akhlak dibagi menjadi dua macam yaitu :
4.      Akhlak yang terpuji (Al-Akhlaqul Mahmudah) yaitu perbuatan baikterhadap Tuhan, sesama manusia dan makhluk-makhluk lainnya yangdapat membawa nilai- nilai positif bagi kemashlahatan umat.
5.      Akhlak yang tercela (Al-Akhlaqul Madzmumah) yaitu perbuatan burukterhadap Tuhan, sesama manusia dan makhluk-makhluk lainnya dan dapatmembawa suasana negatif bagi kepentingan umat manusia.


Sumber dan Ciri-Ciri Akhlak Islami

Persoalan “Akhlak” di dalam islam banyak dibicarakan dan dimuat pada Al-Qur’an dan Al-Hadits.  Sumber tersebut merupakan batasan-batasan dalam tindakan sehari-hari bagi manusia. Ada yang menjelaskan arti baik dan buruk. Memberi informasi kepada umat, apa yang semestinya harus diperbuat dan bagaimana harus bertindak. Sehingga dengan mudah dapat diketahui, apakah perbuatan itu terpuji atau tercela, benar atau salah.

Akhlak Islam merupakan system akhlak yang berdasarkan kepercayaan kepada Tuhan, maka tentunya sesuai pula dengan dasar daripada agama itu sendiri. Dengan demikian, dasar/sumber pokok daripada akhlak islam adalah Al-Qur’an dan Al-Hadits yang merupakan sumber utama dari agama islam itu sendiri.
Dinyatakan dalam sebuah hadits Nabi:

عَنْ اَنَسِ بْنِ ماَلِكٍ قَالَ النَّبُّى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : تَرَكْتُ فِيْكُمْ اَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا ماَ تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللهِ وَسُنَّةَ وَرَسُوْلِهِ

Artinya: “Dari Anas Bin Malik berkata: Bersabda Nabi Saw: Telah kutinggalkan atas kamu sekalian dua perkara, yang apabila kamu berpegang kepada keduanya, maka tidak akan tersesat, yaitu Kitab Allah dan Sunah Rasul-Nya”.

Memang tidak disangsikan lagi dengan bahwa segala perbuatan/tidakan manusia apapun bentuknya pada hakikatnya adalah bermaksud untuk mencapai kebahgiaan (saadah), dan hal ini adalah sebagai “natijah” dari problem akhlak. Sedangkan saadah menurut system moral/akhlak yang agamis (islam), dapat dicapai dengan jalan menuruti perintah Allah yakni dengan menjahui segala larangan Allah dan mengerjakan segala perintah-Nya, sebagaimana yang tertera dalam pedoman dasar hidup bagi setiap muslim yakni Al-Qur’an dan Al-Hadits.

Dengan demikian dapat ditegasakan disini bahwa dasar dari akhlak islam secara global hanya ada dua yakni: Percaya adanya Tuhan dan percaya adanya hari kemudian/ pembalasan, sebagai disebutkan oleh Abul A’la Maududi bahwa system moral/akhlak ada yang berdasarkan kepercayaan kepada Tuhan dan kehidupan setelah mati.

Akhlak Islam bersifat mengarahkan, membimbing, mendorong, membangun peradaban manusia dan mengobati bagi penyakit social dari jiwa dan mental. Tujuan berakhlak yang baik untuk mendapatkan kebahagiann di dunia dan akhirat. Dua simbolis tujuan inilah yang diidamkan manusia bukan semata berakhlak secara islami hanya bertujuan untuk kebahagiaan dunia saja.

D.    HUBUNGAN AKIDAH, SYARIAH DAN AKHLAK

Aqidah, Syariah dan akhlak pada dasarnya merupakan satu kesatuan dalam ajaran Islam. Ketiga unsur tersebut dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan. Aqidah sebagai sistem kepercayaan yang bermuatan elemen-elemen dasar keyakinan, menggambarkan sumber dan hakikat keberadaan agama. Sementara syariah sebagai system nilai berisi peraturan yang menggambarkan fungsi agama. Sedangkan akhlak sebagai sistematika menggambarkan arah dan tujuan yang hendak dicapai agama.





BAB II
KESIMPULAN


Aqidah, syariah dan akhlak dalam Al-Qur’an disebut amal saleh. Iman menunjukkan makna aqidah sedangkan amal saleh menunjukkan pengertian syariah dan akhlak.

Seseorang yang melakukan perbuatan baik, tetapi tidak dilandasi aqidah,maka perbuatannya hanya dikategorikan sebagai perbuatan baik. Perbuatan baik adalah perbuatan yang sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan, tetapi belum tentu dipandang benar oleh Allah SWT. Sedangkan perbuatan baik yang didorong oleh keimanan terhadap Allah sebagai wujud pelaksanaan syariah disebut amal saleh. Karena itu didalam Al-Qur’an kata amal saleh selalu diawali dengan kata iman.

 Akidah dengan syariah itu tidak dapat di pisahkan (bisa di bedakan tetapi tidak dapat di pisahkan). Akidah sebagai akarnya dan syariah sebagai batang dan dahan – dahannya. Seseorang yang beriman tanpa menjalankan syariah adalah fasik. Sedangkan bersyariah tetapi berakidah yang bertentangan dengan akidah islamiah adalah munafik. Dan seseorang yang tidak berakidah dan bersyariah islamiah adalah kafir. [12


[12Drs. Masjfuk Zuhdi Studi Islam Hal 7
 
Muslim yang baik adalah orang yang memiliki aqidah yang lurus dan kuat yang mendorongnya untuk melaksanakan syariah yang hanya ditujukan pada Allah sehingga tergambar akhlak terpuji pada dirinya.
Akidah dengan seluruh cabangnya tanpa akhlak adalah seumpama sebatang pohon yang tidak dapat dijadikan tempat perlindung kepanasan, untuk berteduh kehujanan dan tidak ada pula buahnya yang dapat dipetik, sebaliknya akhlak tanpa akidah hanya merupakan bayangan-bayangan bagi benda yang tidak tetap yang selalu bergerak. [13]

Atas dasar hubungan itu, maka seseorang yang melakukan suatu perbuatan baik, tetapi tidak dilandasi oleh  aqidah atau keimanan, maka orang itu termasuk kedalam kategori kafir. Seseorang yang mengaku beraqidah atau beriman, tetapi tidak mau melaksanakan syariah, maka orang tersebut disebut fasik. Sedangkan orang yang mengaku beriman dan melaksanakan syariah tetapi dengan landasan aqidah yang tidak lurus disebut munafik.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA


Ensiklopedi Hukum Islam. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1996
Zuhdi, Masjfuk. Studi Islam, Rajawali Pers, Jakarta, 1988
Syaltut, Mahmud. Islam Aqidah dan Syari’ah, Pustaka Amani, Jakarta, 1986
Daradjat, Zakiah. Dkk. Dasar-Dasar Agama Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1984.
Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2002.
Atjeh, Aboebakar. Sejarah Syufi dan Tasawwuf, Ramadhani, Solo, 1962.
Mahmud Syaltut, Syekh. Akidah dan Syari’ah Islam, Bina Aksara, Jakarta, 1985
Muslimcianjur.blogspot.com
Blogufik.blogspot.com
syariah.web.id
id.shvoong.com
www.artikata.com